Pemakluman tingkat dewa ternyata berbatas. Mungkin sudah
saatnya para narasumber berita mendapatkan edukasi soal strategi
membumihanguskan perusahaan pers abal-abal. Mereka perlu tahu ada langkah-langkah
yang harus dilakukan jika terjerat berita bengkok sebengkok bengkoknya bengkok
para pewarta.
Bagaimana tidak bengkok, menyandang status wartawan muda,
madya, bahkan mungkin utama, ternyata bisa gagal paham soal Sita Jaminan hingga
dipersamakan dengan eksekusi. Brooohh, kurang
apa so Om Google? Napa uraian
pendek soal Sita Jaminan perkara Salihi yang paling mudah dimengerti;
Sita Jaminan itu permohonan, dengan demikian jika dikabulkan maka akan ada penetapan (bukan putusan) oleh hakim. Nah, Dalam SEMA No.5 Tahun 1975 diuraikan hal-hal penting dalam Sita Jaminan antaranya; (1) Barang yang diletakan sita jaminan nilainya tidak melebihi nilai gugat dan (2) Benda yang diletakan Sita Jaminan tetap dalam penguasaan/pemeliharaan si tersita.
Buruhkata dengar
bisikan seorang teman. Katanya, para pewarta itu bukan gagal paham, mereka tahu
soal Sita Jaminan. Hanya saja katanya, para pewarta itu sengaja menggiring
opini untuk menjatuhkan elektabilitas tergugat yang calon bupati itu. Alasannya,
mereka berpihak ke calon bupati satunya lagi.
Ha ha ha, bisikan teman ini terlalu politis. Kamu salah, teman!
Kentara lah berita sengaja mengiring opini dan berita gagal paham. Soal berita
Sita Jaminan harta salihi dan istrinya, itu asli gagal paham lantaran dungunya
pewarta.
Fakta kedunguan jelas terurai dalam berita suguhan Totabuanews.com, Radarbolmongonline.com, termasuk situs berita regional Mediasulut.co. Satu lagi yang terparah, Kotamobagupost.com.
Entah media-media lain di BMR apa sama juga? Sayang, Buruhkata malas mengakses semuanya. Yang pasti, banyak media di BMR
gagal paham soal Sita Jaminan, namun keempat situs berita tersebut cukup kronis
penyakit dungunya.
Dalam berita bertajuk “Salihi
Dipastikan Bangkrut, Harta Kekayaan Akan Disita PN Kotamobagu” (https://totabuanews.com/2017/01/salihi-dipastikan-bangkrut-harta-kekayaan-akan-disita-pn-kotamobagu),
Totabuanews.com mengurai bahwa Pengadilan
Negeri Kotamobagu mengabulkan gugatan penggugat. Astaga! Bukan hanya mencemarkan
nama baik dengan memastikan Salihi bangkrut, situs ini juga merangkap hakim
dengan kata mengabulkan gugatan penggugat.
Hal yang sama diurai situs Radarbolmongonline.com dalam judul
berita “Polemik Penyitaan Harta Papa
Da’a” (https://radarbolmongonline.com/2017/01/polemik-penyitaan-harta-papa-daa/).
Situs berita grup Jawa Pos ini lengkap menjabarkan isi petitum (permintaan
penggugat) gugatan yang dikabulkan. Bujubuneng!
Kapan dan siapa yang mengabulkan?
Serupa dengan Radarbolmongonline.com.
Situs Mediasulut.com memublikasikan
berita berjudul “58 Aset Disita, Massa
Salihi Menghadang” (http://mediasulut.co/detailpost/58-aset-disita-massa-salihi-menghadang)
yang mengurai soal dikabulkannya petitum penggugat dalam perkara tersebut. (Itu judul ganti. Kata yang butul bukang “Menghadang”,
mar “Mengadang”. Kata dasar “Adang” bukang “Hadang”)
Lebih vulgar lagi kedunguan Kotamobagupost.com. Artikel sok panjang-panjang bertajuk “Yasti Vs Salihi? Dibalik ‘Drama’ Piutang
Rp6 Miliar (Bagian II)” (https://kotamobagupost.com/2017/02/04/yasti-vs-salihi-dibalik-drama-piutang-rp6-miliar-bagian-ii/)
dengan gagah mengurai, “Penggugat Mohammad Wongso akhirnya memenangkan gugatan
perdata atas tergugat Salihi Mokodongan”. Entah pewarta situs ini meliput
persidangannya di planet mana? Sungguh kelewatan.
Artikel Buruhkata ini
jauh dari urusan politik. Hanya saja, puluhan bahkan mungkin ratusan berita serupa
soal Sita Jaminan itu nyata merugikan pihak yang diberitakan. Lihat saja ketika
Juru Sita Pengadilan Negeri Kotamobagu melaksanakan penetapan sita jaminan yang sempat diadang warga. Tentunya yang mendasari tindakan warga tak lain karena terjerumus berita dungu
para pewarta. Sungguh, kalian pewarta jahat! (pinjam gaya ucapan Dian Sastro).
Dari analisa Buruhkata, teridentifikasi beberapa penyakit para pewarta terkait berita sita jaminan ini. Pertama, gagal paham, itu pastinya; Kedua, tukang copy-paste alias wartawan copas; Ketiga, miskin verifikasi; keempat, otak bebal.
Sekali lagi Buruhkata
tegaskan, artikel ini jauh dari urusan politik. Hanya ingin memberi sedikit
tips membumihanguskan pewarta beserta perusahaan pers yang terus mempersese’ profesi jurnalis yang mulia ini.
Jika Buruhkata jadi Salihi, langkah berikut ini
perlu dipertimbangkan untuk menggaruk para pewarta yang nyata melanggar UU Pers
beserta kode etik jurnalistiknya.
Pertama, biarkan para pewarta itu
terkaget-kaget tenyata Hak Jawab itu
tak bernilai apa-apa. Namanya juga hak, bukan kewajiban. Artinya, terserah hak itu
mau dipakai atau tidak, segera lapor ke Dewan Pers! Kemudian tolak semua keputusan
mediasi Dewan Pers meski berbunga-bunga sanksi yang diberikan kepada media
bersangkutan. Kenapa demikian? Nah, ini yang perlu diketahui. Dewan Pers berwenang antaranya hanya memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian kasus
pemberitaan. Tentunya jika pertimbangannya tidak memuaskan dan upaya penyelesaian
Dewan Pers kandas, langkah lanjutkan adalah laporan kepolisian! Pasti laporan
berproses.
Kedua, jika langkah
pertama dirasa berkelok-kelok, ini jurus pamungkas yang mungkin hanya sedikit pelaku
media di Indonesia yang tahu. Layangkan gugatan perdata ke pengadilan! Minta
ganti rugi atas tercemarnya nama baik. Jangan malu-malu, minta ganti rugi
senilai…. Hmmm, berapa ya? Dikira-kira saja nilai tanah dan bangunan kantor
media tersebut beserta mesin percetakannya. Tarulah gugat Rp5-10 Miliar. Siapa
tahu menang dan dikabulkan ganti ruginya walau cuma Rp1 miliar, lumayan kan
buat beli biapong? Hohoho…
ATTENTION: Tips di atas hanya unek-unek Buruhkata saja.
Tidak ada niat memanas-manasi para narasumber. Artikel ini spesial ingin membuka
mata para pewarta di BMR untuk tidak asal-asalan menulis berita. Jadilah
wartawan hebat Menuju Bolmong Hebat.
No comments:
Post a Comment