Haluan

Buruh adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lain dari majikan. Sedangkan Kata, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring (Dalam Jaringan / Online) edisi III adalah, unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa.

Foto Jurnalistik Terbaik Dunia

Foto Jurnalistik Terbaik Dunia

Tuesday, December 6, 2016

Pencabulan Lambat? Gawat!



KALI ini, Buruhkata lagi tak bergairah memper-sese’ berita unyu para pewarta, khususnya yang dipublikasikan salah satu situs berita di BMR siang tadi. Hanya ingin memperbaiki cacat kalimat berita saja. Sekaligus biar pulsa data terpakai mengakses beritanya tak mubasir.

Entah apa kata yang tepat menggambarkan kacaunya hubungan otak dan pesan yang ingin disampaikan pewarta ini. Sungguh, jika hanya sebatas baca teras berita, bisa-bisa orang malah ngeres jadinya. Alasannya, berita yang jelas dimaksud mengurai soal lambatnya proses hukum di kepolisian, malah berubah makna karena tak sempurnanya kalimat. Ini tautan beritannya: http://www.wartabolmong.com/bmr/kota-layak-anak-di-cederai-perbuatan-cabul-oknum-pejabat/


 Dugaan pencabulan tehadap anak dibawah umur oleh oknum ASN yang juga pejabat eselon III di Dinas PU Kota Kotamobagu yang terkesan lambat, menimbulkan reaksi dari kalangan masyarakat dan aktivis Mahsiswa serta Siswa yang ada di Kota Kotamobagu.” Begitu alinea pertama berita yang dipublikasikan wartabolmong.com berjudul Kota Layak Anak di Cederai Perbuatan Cabul Oknum Pejabat. (Bro, “Dicederai” bukan “di Cederai”)

Adew2 dan kakaw2ku sayang. Kekeliruan paragraf berita di atas lantaran kurangnya pemahaman menulis kalimat. Padahal, alinea pertama berita—terlebih bagi media online--merupakan bagian penting untuk menarik minat pembaca. Kalau kata Bang KG dalam workshop-nya di Telaga Korot beberapa pekan lalu, alinea pertama berita adalah ujung tombak.

Nah, bagaimana kalau alinea pertama berisi kalimatnya tak cermat, salah, bahkan berdampak mengubah makna? Nah, itu yang terjadi dengan berita wartabolmong.com di atas. Teras beritanya hanya menggunakan satu kalimat luar biasa panjang; 37 kata! Sudah begitu, maknanya jauh dari maksud. Kenapa begitu? Karena jelas kalimat beritanya mengurai soal terkesan lambatnya dugaan cabul. (jadi kebayang proses pencabulan yang lambat)

Buruhkata awalnya ingin mengurai kacaunya struktur teras berita Wartabolmong itu, sekaligus memperbaikinya pakai pola kalimat SPOK dan lainnya. Tapi, setelah dicoba, eh, kepala Buruhkata malah jadi puyeng. Ha ha ha…

Jadi teman, kalau tak paham di mana kesalahan kalimat Wartabolmong di atas, ya, dibaca-baca lagi lah kalimatnya. Siapa tahu nanti dapat ilham, tiba-tiba paham. 

Intinya begini, jika menulis kalimat berita usahakan tidak lebih kisaran 25 kata. Nah, kalau menurut Dahlan Iskan, (Bos Grup Jawa Pos. keterlaluan banget kalau nggak kenal beliau) sebuah berita harus memberi kenyamanan pembaca, antaranya kalimat sebaiknya tidak panjang-panjang.

“Bacalah sebuah kalimat dalam berita koran apa saja. Bila napas Anda sudah habis tapi tanda titiknya belum ketemu, itu kepanjangan.” Begitu kata Dahlan saat mengisi kelas jurnalistik untuk reporter baru Jawa Pos, sekitar 25 tahun lalu.

Untuk memantapkan kebahagiaan hari ini, Buruhkata coba ubah sedikit teras berita Wartabolmong tadi jadi 2 kalimat berikut: 

Terkesan lambatnya proses hukum dugaan pencabulan oknum pejabat di Dinas PU Kotamobagu, menimbulkan reaksi berbagai kalangan masyarakat. Menyusul, puluhan aktivis mahasiswa serta siswa menggelar aksi demo di halaman kantor Wali Kota Kotamobagu, Senin, 5 Desember 2016.

Agar lebih dramatis, Buruhkata coba mengubah teras beritanya jadi “lebay” seperti ini:

Terik matahari yang hampir memanggang kulit siang itu, tak menyurutkan semangat para pelajar beserta puluhan aktivis mengelar aksi demo di halaman Kantor Wali Kota, Senin, 5 Desember 2016. “Pecat pejabat cabul!” teriak seorang siswi berjilbab di antara rekan sesama pelajar yang berjejer depan massa demo membentangkan spanduk bertuliskan “PSG Bukan PSK”.

***

Jadi begitulah. Mendapati karya berita unyu-unyu, pemakluman Buruhkata mungkin sudah setingkat dewa. Mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi potret terbuka fenomena kebebasan pers, bukan hanya di BMR, tapi seantero Indonesia: Meski tak tahu menulis, bisa jadi wartawan!

Buruhkata yang sempat berkeinginan jadi jurnalis namun tak kesampaian, tahu betul bagaimana kerennya profesi itu, dulu. Ya, dulu martabat wartawan begitu khususnya, karena masyarakat menganggap profesi itu tidak sembarangan dimasuki orang yang tak kompeten. 

Bandingkan dengan sekarang. Mau jadi wartawan tak perlu banyak prosedur. Tak perlu ada syarat ini itu seperti harus berijazah S1. Tak tamat SD pun bisa. Bahkan, merangkap ajudan gelap pejabat, tukang bentor, sopir dan preman pun bisa langsung jadi wartawan lengkap dengan kartu identitas. 

Soal itu Buruhkata sedang tak menduga-duga, hanya sedikit menghilangkan kewarasan saja. Ya, kemudahan menjadi wartawan pascakebebasan pers, menjadi salah satu “kemajuan” dunia pers itu sediri. Makin kentara proses perekrutan wartawan dikaji berdasarkan kelihaian meraup duit, di antaranya mampu mengawal kontrak kerja sama dengan pemerintah. Bisnis permediaan saat ini--khususnya di daerah--sudah menutup mata dan telinga terhadap aspirasi soal prestise kewartawanan. Mo bekeng apa le. Mo sapu-sapu dada jo? Hmm.. masih ada harapan.

Mudah-mudahan, kontrak kerja dengan pemerintah mulai disyaratkan hanya perusahaan terverifikasi dewan pers dan bersertifikat lulus kompetensi bagi pewartanya. Buruhkata sih ragu syarat itu mampu meningkatkan kualitas para pewarta, apalagi untuk memangkas keleluasaan media karbitan memangsa pembagian dana humas. Cuma pastinya, di 2017 jika syarat itu diberlakukan bakal jadi ajang saling sikut antarpewarta. Tak terlewatkan pula, nyanyian trial by press dari para pewarta tak kebagian kontrak bakal makin merdu. He he he…

1 comment: