Masalah jurnalistik di Bolaang Mongondow Raya
memang tak ada habisnya. Kalau tidak lemas menahan lapar dan dahaga,
mungkin Buruhkata bisa lancar jaya menggarap banyak artikel
sejak awal Ramadan. Sebenarnya ada beberapa artikel sempat ditulis tapi urung
dipublikasikan karena beberapa alasan. Salah satunya tentang surat kabar Indo
Post dengan foto berita korban kecelakaan super sadisnya. Ya, tahu
lah si Budi. Kalau kata anak gaul sekarang, “so pernah ley”. Bagi yang melek
informasi seputar jurnalistik di BMR, pasti paham maksud Buruhkata.
Nah, pada artikel kali ini, Buruhkata mengulas
masalah jurnalistik yang menarik semenarik menariknya menarik. Menariknya
karena masalahnya cukup kompleks. Bahkan saat masalahnya dikaji, puasa Buruhkata hampir
saja batal (Hahaha, bercanda).
Artikel menarik dimaksud yaitu tentang pemberitaan “Mutasi Dokter Sitti” dan “Abdi Karya Tolak Karyawan Berjilbab”. Mungkin ada yang bertanya kenapa kedua hal itu dibahas bersamaan? Ya, karena duduk masalah jurnalistik keduanya hampir serupa.
Jadi begini kawan-kawan pembaca yang budiman.
Dimulai dari polemik “Mutasi Dokter Sitti”. Setelah Buruhkata telusuri,
didapati asal muasal masalahnya datang dari berita olahan situs www.formakindonews.com berjudul
“Waw,,, Pemkot Kotamobagu Hargai Dokter Specialis Sebagai Staf Puskes”.
Di luar masalah laten media online soal
penulisan, isi berita Formakindonews itu punya banyak masalah jurnalistik, dan
dipastikan mengangkangi Pedoman Media Siber. Alasannya, pokok berita yang
diangkat adalah kebijakan Pemkot Kotamobagu melakukan mutasi yang dianggap aneh
dan berdasarkan suka tidak suka. Sementara, tak ada satu kata pun klarifikasi
dari pihak Pemkot di berita tersebut. Sablengnya lagi, isu yang diangkat
berasal dari sumber anonim.
Buruhkata sarankan redaksi Formakindonews mulai dari
pimpinan sampai reporter mengakses tautan situsnya sendiri berikut
ini; http://www.formakindonews.com/kode-etik/.
Dibaca keras-keras isinya biar cepat paham, khususnya pasal 2 tentang
Verifikasi dan Keberimbangan Berita. Uraiannya Itu keren, apalagi dibaca
beramai-ramai seluruh awak redaksi.
Polemik mutasi Dokter Sitti makin memanas ketika
berita Formakindonews beranak-pinak hingga melahirkan isu negatif soal BPJS.
Entah dari mana polemik mutasi itu tiba-tiba terseret isu BPJS. Tapi Buruhkata kemudian
temukan berita milik situs jempol www.bmrpost.com, yang
terbit sehari setelah berita Formakindonews itu. Bmrpost memberi judul
beritanya “Diduga Pertanyakan Dana BPJS, dr Sitti Dimutasi”.
Tahu lah situs jempol, tentu tak kalah
sablengnya dengan berita Formakindonews. Soal mutasi yang diangkat
Formasindonews, setidaknya telah dibenarkan dr Sitti. Tapi berbeda dengan
Bmrpost. Situs jempol itu mengangkat pokok berita soal dugaan mempertanyakan
dana BPJS ke RSUD Kotamobagu hingga dr Sitti dimutasi. Eh, baik dr
Sitti maupun pihak RSUD tak satu kata pun mengklarifikasi ataupun membenarkan
dugaan tersebut. Malah yang dijadikan narasumber adalah pihak yang jauh dari
pokok beritanya.
Kembali Buruhkata sarankan,
redaksi Bmrpos kumpul depan laptop sambil bergandengan tangan dan menyanyikan
lagu berjudul “Pasal 2 Pedoman Media Siber”. Ini liriknya;
Pasal 2 Pedoman Media Siber
Intro
Verse
Aaaa... Pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi...houwoo..
Beeee... Berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan....yeeyee...
Ceeee. Ketentuan dalam butir (Aaaa) di atas dikecualikan, dengan syarat...syalala...
Reff
Satuuu... Berita benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak;
Duaaa... Sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten;
Tigaaa.... Subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai;
Empaaat... Media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring.
Bridge
Deeee... Setelah memuat berita sesuai dengan butir (c), media wajib meneruskan upaya verifikasi, dan setelah verifikasi didapatkan, hasil verifikasi dicantumkan pada berita pemutakhiran (update) dengan tautan pada berita yang belum terverifikasi.
Kembali ke reff
Polemik mutasi dr Sitti pun makin berbunga-bunga
(bukan karena lagu di atas). Rentetan tautan berita bahkan makin deras
berhamburan di sosial media, khususnya di grup facebook teraktif bagi warga BMR
yakni “Sahabat DeMo Dari BolMongRaya Untuk Indonesia”.
Hingga suatu ketika (serasa nulis novel horor),
munculah tautan berita dari situs www.detotabuan.com berjudul “Mutasi dr SittiMurni karena Peningkatan Kapasitas Kerja dan Pelayanan”. Kepala BKD Pemkot
sebagai narasumber berita menuturkan bahwa mutasi dr Sitti bukan karena isu
ini-itu sebagaimana yang digoreng dan difermentasikan sejumlah situs berita.
Meski isu mutasi dibantah pihak BKD, urusan
pokoknya belum tuntas. Masalahnya, isu gorengan-gorengan itu baru bisa
jelas kalau ada pernyataan resmi dr Sitti sebagai subjek utama pemberitaan. Apa
sebab, karena masih ada dua kemungkinan: dr Sitti membenarkan alasan mutasi
dirinya lantaran mempertanyakan BPJS; Atau dr. Sitti membenarkan bahwa mutasinya wajar
dan bukan karena isu-isu tersebut.
Sayangnya, hampir keriting jari Buruhkata menelusuri mbah
google, berita yang memuat pernyataan Ibu Dokter soal isu itu tak kunjung
ditemukan. Dengan demikian, sampai saat ini fakta yang ada hanya satu: Masalah
mutasi karena mempertanyakan BPJS adalah murni buatan beberapa situs berita
dengan tokoh anonimnya.
Karena baru sebatas itu faktanya, maka
pihak-pihak yang merasa dirugikan bisa segera menggoreng situs-situs tersebut. Cara
gorengnya? Buat dan kirimkan hak jawab ke media bersangkutan. Setelah hak jawab
ditindaklanjuti, kemudian susul laporan lagi lewat tautan berikut ini; http://dewanpers.or.id/form_pengaduan.
Buruhkata sebenarnya sedih, situs berita seberjibun itu di BMR tak ada
satu pun yang bisa menyajikan polemik ini secara terang-benderang dengan
bumbu-bumbu fakta. Berita Detotabuan hanyalah sanggahan dari berita hampa
bersumber tokoh anonim. Buruhkata bahkan gemes dan berencana
memeriksakan kehamilan supaya bisa ketemu dr Sitti. Nanti pas kandungan Buruhkata diperiksa
dan ternyata memang ada apa-apanya soal mutasi dr Sitti, maka yang harus
digoreng beramai-ramai adalah si pemutasi.
Belum sempat periksa kehamilan, Buruhkata tersadar
sedang tidak hamil. Seketika itu pun Buruhkata urungkan niat ke
tempat dr Sitti dan alihkan perjalanan menuju Toko Abdi Karya. Apesnya, pas
turun dari bentor dan masuk dalam toko, Buruhkata diteriaki
para pengunjung, “Hey, laki-laki ngana, kiapa pake jilbab? Di sini sedang
karyawan parampuang nda ada pake jibab!”.
Maaf kawan, tulisan mulai ngawur. Maklum, Buruhkata belakangan
sering hilang fokus terlebih saat puasa ini--kibor laptop mulai terlihat mirip
potongan podeng!
Nah, polemik mutasi Dokter Siti memang serupa dengan isu Abdi Karya
tolak karyawan berjilbab yang lagi ramai diperbincangkan. Ya, sudah pasti
ramai, pemberitaan itu menjadi isu tak ketulungan bahayanya. Tanpa banyak upaya
penelusuran, lewat facebook Buruhkata ketemu asal muasal isu
yang bernuansa negatif SARA tersebut. Ya, bermula dari berita yang
dipublikasikan surat kabar Koran Bolmong berjudul “Abdi
Karya Langgar UU Tenaga Kerja - Tolak Karyawan Berjilbab”.
Serupa dengan polemik mutasi dr Siti. Berita
Koran Bolmong yang kemudian dianak-pinakkan beberapa situs online, tiba-tiba
mental setelah munculnya berita Bmrpos berjudul “Abdi Karya Tidak
Larang Karyawan Berjilbab”. Bersamaan dengan itu pula, Denny
Mokodompit (DeMo) yang mengatasnamakan Ketua Dewan Masjid Kota Kotamobagu ikut
melakukan penelusuran dan memberikan pernyataan resminya. Dirinya ikut mengurai
hal yang sama dengan berita Bmrpost, tapi kesimpulannya menguatkan pemberitaan
Koran Bolmong.
Isu terus hangat dan makin membingungkan,
informasi mana yang benar? Rasa penasaran Buruhkata bergejolak, hingga terpaksa ambil jurus keluar kandang. Ya, sakota deng motor matic cari edisi Koran
Bolmong. Beruntungnya, meski selang dua hari koran itu terbit, Buruhkata ketemu
edisinya masih nongkrong di salah satu tempat di Kotamobagu. Tajuk utamanya
memang memaksa Buruhkata mengeluarkan kocek seharga balapis dua
buah untuk mengamankan koran tersebut.
Setelah Buruhkata bolak-balik
baca berita korannya, termasuk berita Bmrpost dan pernyataan DeMo, didapati
hal-hal soal polemik jilbab itu sebagai berikut;
1. Ada
kesamaan antara data DeMo dan Koran Bolmong dalam hal penggunaan diksi kata
“Tolak” dan bukan “Larang”. Penggunaan kata itu penting, mengingat frasa kata
berita Koran Bolmong adalah “Tolak”. Dan, substansi beritanya pun adalah
pelanggaran UU Tenaga Kerja yang menekankan “setiap tenaga kerja memiliki
kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan”. Kesamaan data lain yaitu
mengenai tidak adanya karyawan berjilbab di toko tersebut.
2. Ada
kesamaan fakta antara data DeMo dan Bmrpost. Kesamaan itu dalam hal keterangan
HRD Abdi Karya yang membantah berita atau isu yang berkembang mengenai kebijakan
jilbab di toko tersebut. Selebihnya, berita Bmrpost bertentangan dengan
pernyataan Demo termasuk berita Koran Bolmong.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka jelas
masalahnya serupa dengan polemik mutasi dr. Siti. Keduanya sama tak jelas
lantaran subjek masalahnya diam, baik dr Sitti maupun Koran Bolmong. Jika
polemik mutasi membutuhkan keterangan jelas dari dr Sitti, sama hal dengan
polemik jilbab yang memerlukan keterangan jelas dari Koran Bolmong.
Tapi jika ditakar nilainya, Koran Bolmong paling wajib dan harusnya segera memberikan penjelasan. Alasannya, Abdi Karya sangat dirugikan dengan berita yang digaungkan Koran Bolmong. Sudah begitu, isu yang beranak-pinak menjurus ke negatif SARA. Lihat saja berita-berita media online yang berkembang.
Tapi jika ditakar nilainya, Koran Bolmong paling wajib dan harusnya segera memberikan penjelasan. Alasannya, Abdi Karya sangat dirugikan dengan berita yang digaungkan Koran Bolmong. Sudah begitu, isu yang beranak-pinak menjurus ke negatif SARA. Lihat saja berita-berita media online yang berkembang.
Sekarang, perkara jilbab bernuansa negatif SARA
itu perlu dikaji kaitannya dengan Kode Etik Jurnalistik. Dalam kasus ini, Buruhkata menaruh
simpati kepada Koran Bolmong dengan keberaniannya mengangkat berita jilbab
tersebut. Kenapa demikian? Wartawan tertentu pasti menempatkan masalah jilbab itu
sebagai negatif SARA yang harusnya tak layak diberitakan. Namun berbeda menurut
pandangan Buruhkata.
Jadi begini kawan. Kasus SARA wajib diberitakan
dan jangan ditutup-tutupi agar tidak terjadi distorsi di tengah masyarakat.
Dengan syarat, wartawan harus memiliki data dan fakta yang komprehensif sebelum
berita itu dipublikasikan. Tapi itu sangat tidak cukup. Kalau menurut mantan Wakil
Ketua Dewan Pers Bambang Harymurti, satu hal lagi yang penting soal
memberitakan kasus SARA, yakni berita wajib dikemas dengan keadilan. Mantan
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo itu pun menegaskan bahwa jika memberitakan
berita sensitif SARA maka kata kunci utamanya adalah relevansi.
Sekarang, bagaimana dengan berita Koran Bolmong?
Menurut kajian Buruhkata, Koran Bolmong secara cermat dan relevan
menempatkan beritanya dalam lingkup ketenagakerjaan.
Bagi pembaca yang belum paham maksud relevansi itu, Buruhkata contohkan berita SARA yang tidak relevan. Misanya judul berita “Pria kristen pukuli Pria islam”. Padahal, pokok masalahnya hanya tentang perkelahian pemuda biasa yang tak ada hubungannya dengan agama. Bagaimana, mengerti maksud Buruhkata soal relevansi? Belum mengerti juga?
Bagi pembaca yang belum paham maksud relevansi itu, Buruhkata contohkan berita SARA yang tidak relevan. Misanya judul berita “Pria kristen pukuli Pria islam”. Padahal, pokok masalahnya hanya tentang perkelahian pemuda biasa yang tak ada hubungannya dengan agama. Bagaimana, mengerti maksud Buruhkata soal relevansi? Belum mengerti juga?
Oke, Buruhkata coba beri contoh berita isu
SARA yang relevan. Coba akses tautan berita Sindonews.com berikut ini; (http://ekbis.sindonews.com/read/846227/34/bank-jatim-tolak-calon-pegawai-berhijab-1395319035).
Ini juga tautan berita suguhan Solopos.com (http://www.solopos.com/2015/01/14/trending-sosmed-tolak-pelamar-berjilbab-iklan-lowongan-pekerjaan-ini-dikecam-567904).
Ada lagi berita dari situs Okezone.com, ini tautannya; (http://news.okezone.com/read/2014/12/17/337/1080464/larangan-berjilbab-menteri-rini-dikecam-dpr).
Nah, kalau yang ini tautan
berita soal larangan (bukan tolak) karyawan berjilbab suguhan Mereka.com; (http://www.merdeka.com/peristiwa/bank-ocbc-nisp-larang-karyawan-berjilbab-dprd-pekanbaru-geram.html).
Kalau tautan berita pontianak.tribunews.com berikut ini contoh berita sanggahan
yang relevan soal isu negatif SARA (http://pontianak.tribunnews.com/2015/01/30/pihak-matahari-bantah-soal-tolak-karyawan-berjilbab).
Bagaimana, paham kan soal relevansi berita isu SARA? Kalau belum paham juga,
coba nanti sehabis buka puasa baca lagi artikel dan tautan-tautan ini.
Oke lanjut. Berdasarkan keterangan Abdi Karya
yang tidak melarang/menolak karyawan berjilbab sebagaimana berita Bmrpost dan
pernyataan DeMo. Buruhkata menilai Koran Bolmong hanya
menggunakan opini wartawannya soal pemberitaan “tolak jilbab”. Namun
menariknya, sebagaimana kesamaan data DeMo dan Koran Bolmong bahwa tak ada
karyawan berjilbab di toko tersebut, Buruhkata meyakini itu
yang digunakan Koran Bolmong sebagai opini pembentuk beritanya. Kalau dalam
Kode Etik Jurnalistik, itu disebut opini interpretatif atas fakta.
Sekarang soal situs berita Bmrpost. Berita yang
disuguhkan situs ini sebenarnya tidak relevan jika kaitannya dengan berita
jilbab yang digaungkan Koran Bolmong. Pertama, Bmrpost menggunakan
diksi kata “Larang” untuk maksud “tidak melarang karyawan berjilbab”.
Sementara, permasalahan yang menguak adal soal tolak karyawan berjilbab. Kedua,
semakin tidak relevannya berita Bmrpost karena dikembangkan kental soal
sensitif agama (mirip contoh: pria kristen pukuli pria islam). Hal itu terurai
di antaranya soal jumlah karyawan muslim mendominasi di Abdi Karya, soal adanya
musalah, hingga urusan puasa karyawan dan sebagainya. Kalimat-kalimat itu
sangat kontras dengan materi berita Koran Bolmong yang mengusung substansi
pelanggaran UU ketenagakerjaan.
Jadi kesimpulan akhirnya begini. Jika ternyata
berita Koran Bolmong hanyalah modal isu semata, maka koran ini mesti digoreng
dan diobok-obok hingga ke Dewan Pers. Namun jika mereka mampu membuktikan data
dan fakta yang dimiliki, tentunya Abdi Karya perlu diabdi-karyakan lagi.
Kemudian soal Bmrpost. Jika berita foto karyawan
berjilbab di Abdi Karya ternyata hanya manipulasi, maka situs berita Bmrpost
yang harus segera dibumihanguskan.
By the way, Buruhkata baru sadar ternyata Bmrpost salah
satu situs online tergesit menangkap isu-isu yang berkembang di BMR. Soalnya,
di mana ada masalah, di situ ada Bmrpost. Buruhkata benar-benar
salut dengan kemampuan lapangan pewartanya. Meski demikian, salutnya Buruhkata tidak
dibarengi acungan jempol. ***Jang kage dapa injang le deng brita!!
Tulisan yang sangat bagus dan patut diapresiasi..hanya saja satu keteragan yang akan saya sampaikan jika Foto dalam berita tersebut adalah Karyawan MD counter. dan saat pengambilan gambar ada saksi wartawan Media Totabuan dan Pelita BMR..
ReplyDelete