KALI ini, Buruhkata lagi tak bergairah memper-sese’ berita unyu para pewarta, khususnya yang dipublikasikan salah satu situs
berita di BMR siang tadi. Hanya ingin memperbaiki cacat kalimat berita saja. Sekaligus
biar pulsa data terpakai mengakses beritanya tak mubasir.
Entah apa kata yang tepat menggambarkan kacaunya hubungan otak
dan pesan yang ingin disampaikan pewarta ini. Sungguh, jika hanya sebatas baca teras
berita, bisa-bisa orang malah ngeres jadinya.
Alasannya, berita yang jelas dimaksud mengurai soal lambatnya proses hukum di
kepolisian, malah berubah makna karena tak sempurnanya kalimat. Ini tautan
beritannya: http://www.wartabolmong.com/bmr/kota-layak-anak-di-cederai-perbuatan-cabul-oknum-pejabat/
“Dugaan pencabulan tehadap anak dibawah umur oleh oknum ASN yang juga
pejabat eselon III di Dinas PU Kota Kotamobagu yang terkesan lambat,
menimbulkan reaksi dari kalangan masyarakat dan aktivis Mahsiswa serta Siswa
yang ada di Kota Kotamobagu.” Begitu alinea pertama berita yang dipublikasikan
wartabolmong.com berjudul “Kota Layak Anak di Cederai Perbuatan
Cabul Oknum Pejabat”. (Bro, “Dicederai”
bukan “di Cederai”)
Adew2 dan kakaw2ku sayang.
Kekeliruan paragraf berita di atas lantaran kurangnya pemahaman menulis
kalimat. Padahal, alinea pertama berita—terlebih bagi media online--merupakan bagian
penting untuk menarik minat pembaca. Kalau kata Bang KG dalam workshop-nya di Telaga Korot beberapa pekan lalu, alinea pertama berita adalah ujung tombak.
Nah, bagaimana
kalau alinea pertama berisi kalimatnya tak cermat, salah, bahkan berdampak mengubah
makna? Nah, itu yang terjadi dengan berita wartabolmong.com
di atas. Teras beritanya hanya menggunakan satu kalimat luar biasa panjang; 37
kata! Sudah begitu, maknanya jauh dari maksud. Kenapa begitu? Karena jelas
kalimat beritanya mengurai soal terkesan lambatnya
dugaan cabul. (jadi kebayang proses pencabulan yang lambat)
Buruhkata awalnya
ingin mengurai kacaunya struktur teras berita Wartabolmong itu, sekaligus memperbaikinya pakai pola kalimat SPOK dan
lainnya. Tapi, setelah dicoba, eh, kepala Buruhkata
malah jadi puyeng. Ha ha ha…
Jadi teman, kalau tak paham di mana kesalahan kalimat Wartabolmong di atas, ya, dibaca-baca
lagi lah kalimatnya. Siapa tahu nanti dapat ilham, tiba-tiba paham.
Intinya begini, jika menulis kalimat berita usahakan tidak
lebih kisaran 25 kata. Nah, kalau
menurut Dahlan Iskan, (Bos Grup Jawa Pos. keterlaluan banget kalau nggak kenal
beliau) sebuah berita harus memberi kenyamanan pembaca, antaranya kalimat sebaiknya
tidak panjang-panjang.
“Bacalah sebuah kalimat dalam berita koran apa saja. Bila
napas Anda sudah habis tapi tanda titiknya belum ketemu, itu kepanjangan.” Begitu
kata Dahlan saat mengisi kelas jurnalistik untuk reporter baru Jawa Pos, sekitar
25 tahun lalu.
Untuk memantapkan kebahagiaan hari ini, Buruhkata coba ubah sedikit teras berita Wartabolmong tadi jadi 2 kalimat berikut:
Terkesan lambatnya
proses hukum dugaan pencabulan oknum pejabat di Dinas PU Kotamobagu, menimbulkan
reaksi berbagai kalangan masyarakat. Menyusul, puluhan aktivis mahasiswa serta siswa
menggelar aksi demo di halaman kantor Wali Kota Kotamobagu, Senin, 5
Desember 2016.
Agar lebih dramatis, Buruhkata
coba mengubah teras beritanya jadi “lebay” seperti ini:
Terik matahari yang
hampir memanggang kulit siang itu, tak menyurutkan semangat para pelajar beserta
puluhan aktivis mengelar aksi demo di halaman Kantor Wali Kota, Senin, 5
Desember 2016. “Pecat pejabat cabul!”
teriak seorang siswi berjilbab di antara rekan sesama pelajar yang
berjejer depan massa demo membentangkan spanduk bertuliskan “PSG Bukan PSK”.
***
Jadi begitulah. Mendapati karya berita unyu-unyu, pemakluman Buruhkata
mungkin sudah setingkat dewa. Mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi potret
terbuka fenomena kebebasan pers, bukan hanya di BMR, tapi seantero Indonesia: Meski tak tahu menulis, bisa jadi wartawan!
Buruhkata yang
sempat berkeinginan jadi jurnalis namun tak kesampaian, tahu betul bagaimana
kerennya profesi itu, dulu. Ya, dulu martabat wartawan begitu khususnya, karena
masyarakat menganggap profesi itu tidak sembarangan dimasuki orang yang tak
kompeten.
Bandingkan dengan sekarang. Mau jadi wartawan tak perlu
banyak prosedur. Tak perlu ada syarat ini itu seperti harus berijazah S1. Tak
tamat SD pun bisa. Bahkan, merangkap ajudan gelap pejabat, tukang bentor, sopir
dan preman pun bisa langsung jadi wartawan lengkap dengan kartu identitas.
Soal itu Buruhkata sedang
tak menduga-duga, hanya sedikit menghilangkan kewarasan saja. Ya, kemudahan menjadi wartawan
pascakebebasan pers, menjadi salah satu “kemajuan” dunia pers itu sediri. Makin
kentara proses perekrutan wartawan dikaji berdasarkan kelihaian meraup duit, di
antaranya mampu mengawal kontrak kerja sama dengan pemerintah. Bisnis
permediaan saat ini--khususnya di daerah--sudah menutup mata dan telinga
terhadap aspirasi soal prestise kewartawanan. Mo bekeng apa le. Mo sapu-sapu dada jo? Hmm.. masih ada harapan.
Mudah-mudahan, kontrak kerja dengan pemerintah mulai disyaratkan
hanya perusahaan terverifikasi dewan pers dan bersertifikat lulus kompetensi
bagi pewartanya. Buruhkata sih ragu syarat itu mampu meningkatkan
kualitas para pewarta, apalagi untuk memangkas keleluasaan media karbitan
memangsa pembagian dana humas. Cuma pastinya, di 2017 jika syarat itu diberlakukan
bakal jadi ajang saling sikut antarpewarta. Tak terlewatkan pula, nyanyian trial by press dari para pewarta tak kebagian
kontrak bakal makin merdu. He he he…
sejahterakan kaum buruh !
ReplyDelete