Haluan

Buruh adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lain dari majikan. Sedangkan Kata, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring (Dalam Jaringan / Online) edisi III adalah, unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa.

Foto Jurnalistik Terbaik Dunia

Foto Jurnalistik Terbaik Dunia

Friday, June 24, 2016

Dokter Sitti dan Media Jilbab

Masalah jurnalistik di Bolaang Mongondow Raya memang tak ada habisnya. Kalau tidak lemas menahan lapar dan dahaga, mungkin Buruhkata bisa lancar jaya menggarap banyak artikel sejak awal Ramadan. Sebenarnya ada beberapa artikel sempat ditulis tapi urung dipublikasikan karena beberapa alasan. Salah satunya tentang surat kabar Indo Post dengan foto berita korban kecelakaan super sadisnya. Ya, tahu lah si Budi. Kalau kata anak gaul sekarang, “so pernah ley”. Bagi yang melek informasi seputar jurnalistik di BMR, pasti paham maksud Buruhkata.

Nah, pada artikel kali ini, Buruhkata mengulas masalah jurnalistik yang menarik semenarik menariknya menarik. Menariknya karena masalahnya cukup kompleks. Bahkan saat masalahnya dikaji, puasa Buruhkata hampir saja batal (Hahaha, bercanda).

Artikel menarik dimaksud yaitu tentang pemberitaan “Mutasi Dokter Sitti” dan “Abdi Karya Tolak Karyawan Berjilbab”. Mungkin ada yang bertanya kenapa kedua hal itu dibahas bersamaan? Ya, karena duduk masalah jurnalistik keduanya hampir serupa.

Jadi begini kawan-kawan pembaca yang budiman. Dimulai dari polemik “Mutasi Dokter Sitti”. Setelah Buruhkata telusuri, didapati asal muasal masalahnya datang dari berita olahan situs www.formakindonews.com berjudul “Waw,,, Pemkot Kotamobagu Hargai Dokter Specialis Sebagai Staf Puskes”.
Di luar masalah laten media online soal penulisan, isi berita Formakindonews itu punya banyak masalah jurnalistik, dan dipastikan mengangkangi Pedoman Media Siber. Alasannya, pokok berita yang diangkat adalah kebijakan Pemkot Kotamobagu melakukan mutasi yang dianggap aneh dan berdasarkan suka tidak suka. Sementara, tak ada satu kata pun klarifikasi dari pihak Pemkot di berita tersebut. Sablengnya lagi, isu yang diangkat berasal dari sumber anonim.

Buruhkata sarankan redaksi Formakindonews mulai dari pimpinan sampai reporter mengakses tautan situsnya sendiri berikut ini;  http://www.formakindonews.com/kode-etik/. Dibaca keras-keras isinya biar cepat paham, khususnya pasal 2 tentang Verifikasi dan Keberimbangan Berita. Uraiannya Itu keren, apalagi dibaca beramai-ramai seluruh awak redaksi.

Polemik mutasi Dokter Sitti makin memanas ketika berita Formakindonews beranak-pinak hingga melahirkan isu negatif soal BPJS. Entah dari mana polemik mutasi itu tiba-tiba terseret isu BPJS. Tapi Buruhkata kemudian temukan berita milik situs jempol www.bmrpost.com, yang terbit sehari setelah berita Formakindonews itu. Bmrpost memberi judul beritanya “Diduga Pertanyakan Dana BPJS, dr Sitti Dimutasi”.

Tahu lah situs jempol, tentu tak kalah sablengnya dengan berita Formakindonews. Soal mutasi yang diangkat Formasindonews, setidaknya telah dibenarkan dr Sitti. Tapi berbeda dengan Bmrpost. Situs jempol itu mengangkat pokok berita soal dugaan mempertanyakan dana BPJS ke RSUD Kotamobagu hingga dr Sitti dimutasi. Eh, baik dr Sitti maupun pihak RSUD tak satu kata pun mengklarifikasi ataupun membenarkan dugaan tersebut. Malah yang dijadikan narasumber adalah pihak yang jauh dari pokok beritanya.

Kembali Buruhkata sarankan, redaksi Bmrpos kumpul depan laptop sambil bergandengan tangan dan menyanyikan lagu berjudul “Pasal 2 Pedoman Media Siber”. Ini liriknya;

Pasal 2 Pedoman Media Siber
Intro
Verse 
Aaaa... Pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi...houwoo..
Beeee... Berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan....yeeyee...
Ceeee. Ketentuan dalam butir (Aaaa) di atas dikecualikan, dengan syarat...syalala... 
Reff
Satuuu... Berita benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak;
Duaaa... Sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten;
Tigaaa.... Subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai;
Empaaat...  Media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring.
Bridge 
Deeee... Setelah memuat berita sesuai dengan butir (c), media wajib meneruskan upaya verifikasi, dan setelah verifikasi didapatkan, hasil verifikasi dicantumkan pada berita pemutakhiran (update) dengan tautan pada berita yang belum terverifikasi.
Kembali ke reff

Polemik mutasi dr Sitti pun makin berbunga-bunga (bukan karena lagu di atas). Rentetan tautan berita bahkan makin deras berhamburan di sosial media, khususnya di grup facebook teraktif bagi warga BMR yakni “Sahabat DeMo Dari BolMongRaya Untuk Indonesia”.

Hingga suatu ketika (serasa nulis novel horor), munculah tautan berita dari situs www.detotabuan.com berjudul “Mutasi dr SittiMurni karena Peningkatan Kapasitas Kerja dan Pelayanan”. Kepala BKD Pemkot sebagai narasumber berita menuturkan bahwa mutasi dr Sitti bukan karena isu ini-itu sebagaimana yang digoreng dan difermentasikan sejumlah situs berita.

Meski isu mutasi dibantah pihak BKD, urusan pokoknya belum tuntas. Masalahnya, isu gorengan-gorengan itu baru bisa jelas kalau ada pernyataan resmi dr Sitti sebagai subjek utama pemberitaan. Apa sebab, karena masih ada dua kemungkinan: dr Sitti membenarkan alasan mutasi dirinya lantaran mempertanyakan BPJS; Atau dr. Sitti membenarkan bahwa mutasinya wajar dan bukan karena isu-isu tersebut.

Sayangnya, hampir keriting jari Buruhkata menelusuri mbah google, berita yang memuat pernyataan Ibu Dokter soal isu itu tak kunjung ditemukan. Dengan demikian, sampai saat ini fakta yang ada hanya satu: Masalah mutasi karena mempertanyakan BPJS adalah murni buatan beberapa situs berita dengan tokoh anonimnya.

Karena baru sebatas itu faktanya, maka pihak-pihak yang merasa dirugikan bisa segera menggoreng situs-situs tersebut. Cara gorengnya? Buat dan kirimkan hak jawab ke media bersangkutan. Setelah hak jawab ditindaklanjuti, kemudian susul laporan lagi lewat tautan berikut ini; http://dewanpers.or.id/form_pengaduan.

Buruhkata sebenarnya sedih, situs berita seberjibun itu di BMR tak ada satu pun yang bisa menyajikan polemik ini secara terang-benderang dengan bumbu-bumbu fakta. Berita Detotabuan hanyalah sanggahan dari berita hampa bersumber tokoh anonim. Buruhkata bahkan gemes dan berencana memeriksakan kehamilan supaya bisa ketemu dr Sitti. Nanti pas kandungan Buruhkata diperiksa dan ternyata memang ada apa-apanya soal mutasi dr Sitti, maka yang harus digoreng beramai-ramai adalah si pemutasi.

Belum sempat periksa kehamilan, Buruhkata tersadar sedang tidak hamil. Seketika itu pun Buruhkata urungkan niat ke tempat dr Sitti dan alihkan perjalanan menuju Toko Abdi Karya. Apesnya, pas turun dari bentor dan masuk dalam toko, Buruhkata diteriaki para pengunjung, “Hey, laki-laki ngana, kiapa pake jilbab? Di sini sedang karyawan parampuang nda ada pake jibab!”.

Maaf kawan, tulisan mulai ngawur. Maklum, Buruhkata belakangan sering hilang fokus terlebih saat puasa ini--kibor laptop mulai terlihat mirip potongan podeng!

Nah, polemik mutasi Dokter Siti memang serupa dengan isu Abdi Karya tolak karyawan berjilbab yang lagi ramai diperbincangkan. Ya, sudah pasti ramai, pemberitaan itu menjadi isu tak ketulungan bahayanya. Tanpa banyak upaya penelusuran, lewat facebook Buruhkata ketemu asal muasal isu yang bernuansa negatif SARA tersebut. Ya, bermula dari berita yang dipublikasikan surat kabar Koran Bolmong berjudul “Abdi Karya Langgar UU Tenaga Kerja - Tolak Karyawan Berjilbab”.

Serupa dengan polemik mutasi dr Siti. Berita Koran Bolmong yang kemudian dianak-pinakkan beberapa situs online, tiba-tiba mental setelah munculnya berita Bmrpos berjudul “Abdi Karya Tidak Larang Karyawan Berjilbab”. Bersamaan dengan itu pula, Denny Mokodompit (DeMo) yang mengatasnamakan Ketua Dewan Masjid Kota Kotamobagu ikut melakukan penelusuran dan memberikan pernyataan resminya. Dirinya ikut mengurai hal yang sama dengan berita Bmrpost, tapi kesimpulannya menguatkan pemberitaan Koran Bolmong.

Isu terus hangat dan makin membingungkan, informasi mana yang benar? Rasa penasaran Buruhkata bergejolak, hingga terpaksa ambil jurus keluar kandang. Ya, sakota deng motor matic cari edisi Koran Bolmong. Beruntungnya, meski selang dua hari koran itu terbit, Buruhkata ketemu edisinya masih nongkrong di salah satu tempat di Kotamobagu. Tajuk utamanya memang memaksa Buruhkata mengeluarkan kocek seharga balapis dua buah untuk mengamankan koran tersebut.

Setelah Buruhkata bolak-balik baca berita korannya, termasuk berita Bmrpost dan pernyataan DeMo, didapati hal-hal soal polemik jilbab itu sebagai berikut;

1. Ada kesamaan antara data DeMo dan Koran Bolmong dalam hal penggunaan diksi kata “Tolak” dan bukan “Larang”. Penggunaan kata itu penting, mengingat frasa kata berita Koran Bolmong adalah “Tolak”. Dan, substansi beritanya pun adalah pelanggaran UU Tenaga Kerja yang menekankan “setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan”. Kesamaan data lain yaitu mengenai tidak adanya karyawan berjilbab di toko tersebut.

2. Ada kesamaan fakta antara data DeMo dan Bmrpost. Kesamaan itu dalam hal keterangan HRD Abdi Karya yang membantah berita atau isu yang berkembang mengenai kebijakan jilbab di toko tersebut. Selebihnya, berita Bmrpost bertentangan dengan pernyataan Demo termasuk berita Koran Bolmong.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka jelas masalahnya serupa dengan polemik mutasi dr. Siti. Keduanya sama tak jelas lantaran subjek masalahnya diam, baik dr Sitti maupun Koran Bolmong. Jika polemik mutasi membutuhkan keterangan jelas dari dr Sitti, sama hal dengan polemik jilbab yang memerlukan keterangan jelas dari Koran Bolmong. 

Tapi jika ditakar nilainya, Koran Bolmong paling wajib dan harusnya segera memberikan penjelasan. Alasannya, Abdi Karya sangat dirugikan dengan berita yang digaungkan Koran Bolmong. Sudah begitu, isu yang beranak-pinak menjurus ke negatif SARA. Lihat saja berita-berita media online yang berkembang.

Sekarang, perkara jilbab bernuansa negatif SARA itu perlu dikaji kaitannya dengan Kode Etik Jurnalistik. Dalam kasus ini, Buruhkata menaruh simpati kepada Koran Bolmong dengan keberaniannya mengangkat berita jilbab tersebut. Kenapa demikian? Wartawan tertentu pasti menempatkan masalah jilbab itu sebagai negatif SARA yang harusnya tak layak diberitakan. Namun berbeda menurut pandangan Buruhkata.

Jadi begini kawan. Kasus SARA wajib diberitakan dan jangan ditutup-tutupi agar tidak terjadi distorsi di tengah masyarakat. Dengan syarat, wartawan harus memiliki data dan fakta yang komprehensif sebelum berita itu dipublikasikan. Tapi itu sangat tidak cukup. Kalau menurut mantan Wakil Ketua Dewan Pers Bambang Harymurti, satu hal lagi yang penting soal memberitakan kasus SARA, yakni berita wajib dikemas dengan keadilan. Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo itu pun menegaskan bahwa jika memberitakan berita sensitif SARA maka kata kunci utamanya adalah relevansi.

Sekarang, bagaimana dengan berita Koran Bolmong? Menurut kajian Buruhkata, Koran Bolmong secara cermat dan relevan menempatkan beritanya dalam lingkup ketenagakerjaan.  

Bagi pembaca yang belum paham maksud relevansi itu, Buruhkata contohkan berita SARA yang tidak relevan. Misanya judul berita “Pria kristen pukuli Pria islam”. Padahal, pokok masalahnya hanya tentang perkelahian pemuda biasa yang tak ada hubungannya dengan agama. Bagaimana, mengerti maksud Buruhkata soal relevansi? Belum mengerti juga?

Oke, Buruhkata coba beri contoh berita isu SARA yang relevan. Coba akses tautan berita Sindonews.com  berikut ini; (http://ekbis.sindonews.com/read/846227/34/bank-jatim-tolak-calon-pegawai-berhijab-1395319035). Ini juga tautan berita suguhan Solopos.com (http://www.solopos.com/2015/01/14/trending-sosmed-tolak-pelamar-berjilbab-iklan-lowongan-pekerjaan-ini-dikecam-567904). Ada lagi berita dari situs Okezone.com, ini tautannya; (http://news.okezone.com/read/2014/12/17/337/1080464/larangan-berjilbab-menteri-rini-dikecam-dpr).

Nah, kalau yang ini tautan berita soal larangan (bukan tolak) karyawan berjilbab suguhan Mereka.com; (http://www.merdeka.com/peristiwa/bank-ocbc-nisp-larang-karyawan-berjilbab-dprd-pekanbaru-geram.html). Kalau tautan berita pontianak.tribunews.com berikut ini contoh berita sanggahan yang relevan soal isu negatif SARA (http://pontianak.tribunnews.com/2015/01/30/pihak-matahari-bantah-soal-tolak-karyawan-berjilbab). Bagaimana, paham kan soal relevansi berita isu SARA? Kalau belum paham juga, coba nanti sehabis buka puasa baca lagi artikel dan tautan-tautan ini.

Oke lanjut. Berdasarkan keterangan Abdi Karya yang tidak melarang/menolak karyawan berjilbab sebagaimana berita Bmrpost dan pernyataan DeMo. Buruhkata menilai Koran Bolmong hanya menggunakan opini wartawannya soal pemberitaan “tolak jilbab”. Namun menariknya, sebagaimana kesamaan data DeMo dan Koran Bolmong bahwa tak ada karyawan berjilbab di toko tersebut, Buruhkata meyakini itu yang digunakan Koran Bolmong sebagai opini pembentuk beritanya. Kalau dalam Kode Etik Jurnalistik, itu disebut opini interpretatif atas fakta.

Sekarang soal situs berita Bmrpost. Berita yang disuguhkan situs ini sebenarnya tidak relevan jika kaitannya dengan berita jilbab yang digaungkan Koran Bolmong. Pertama, Bmrpost menggunakan diksi kata “Larang” untuk maksud “tidak melarang karyawan berjilbab”. Sementara, permasalahan yang menguak adal soal tolak karyawan berjilbab. Kedua, semakin tidak relevannya berita Bmrpost karena dikembangkan kental soal sensitif agama (mirip contoh: pria kristen pukuli pria islam). Hal itu terurai di antaranya soal jumlah karyawan muslim mendominasi di Abdi Karya, soal adanya musalah, hingga urusan puasa karyawan dan sebagainya. Kalimat-kalimat itu sangat kontras dengan materi berita Koran Bolmong yang mengusung substansi pelanggaran UU ketenagakerjaan.

Jadi kesimpulan akhirnya begini. Jika ternyata berita Koran Bolmong hanyalah modal isu semata, maka koran ini mesti digoreng dan diobok-obok hingga ke Dewan Pers. Namun jika mereka mampu membuktikan data dan fakta yang dimiliki, tentunya Abdi Karya perlu diabdi-karyakan lagi.

Kemudian soal Bmrpost. Jika berita foto karyawan berjilbab di Abdi Karya ternyata hanya manipulasi, maka situs berita Bmrpost yang harus segera dibumihanguskan.

By the way, Buruhkata baru sadar ternyata Bmrpost salah satu situs online tergesit menangkap isu-isu yang berkembang di BMR. Soalnya, di mana ada masalah, di situ ada Bmrpost. Buruhkata benar-benar salut dengan kemampuan lapangan pewartanya. Meski demikian, salutnya Buruhkata tidak dibarengi acungan jempol. ***Jang kage dapa injang le deng brita!!


1 comment:

  1. Tulisan yang sangat bagus dan patut diapresiasi..hanya saja satu keteragan yang akan saya sampaikan jika Foto dalam berita tersebut adalah Karyawan MD counter. dan saat pengambilan gambar ada saksi wartawan Media Totabuan dan Pelita BMR..

    ReplyDelete